Pendahuluan
Dewasa ini penggunaa outsorching
(Alih Daya) semakin marak terjadi di Indonesia. Seakan-akan outsorching sebagai
“kebutuhan” bagi para pelaku bisnis. Khususnya untuk perusahaan yang
memproduksi barang/jasa. Kebutuhan tersebut semata-mata muncul karena adanya
persaingan usaha yang semakin ketat. Dimana setiap perusahaan dituntut untuk
menghasilkan output atau memaksimumkan produktivitas agar perusahaan
mendapatkan profit atau keuntungan. Untuk meraih keuntungan tersebut, mau tidak
mau pihak perusahaan harus selalu fokus dalam berkompetensi. Hal itu dilakukan
agar perusahaan tidak sekedar menghasilkan output yang biasa-biasa saja. Namun
harus memproduksi output berupa barang/jasa yang berkualitas, bermutu, dan
dapat bersaing dengan produk perusahaan lainnya.
Dengan kondisi seperti itulah, pada
akhirnya jalan outsorching menjadi solusi sementara bahkan menjadi sebuah trend
ekonomi produksi dalam sebuah perusahaan. Tetapi permasalahannya adalah
bagaimana posisi atau tempat outsorching itu sendiri berdiri di mata hukum.
Sehingga sekarang ini banyak perselisihan mengenai sistem alih daya yang
dituntut oleh para serikat pekerja untuk dihapuskan.
Penggunaan
Outsorching dan Posisinya dalam Hukum
Menurut Mourice F Greaver ii, pada bukunya Strategic
Outsorching, A Structured Approach to Outsorching : Decisions and Initiatives,
yang menjabarkan Outsorching sebagai berikut:
“Strategic
use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal
staff and respurces”.
Dalam
pengertian lain, outsorching (Alih Daya) adalah suatu tindakan pendelegasian
beberapa kegiatan bisnis kepada suatu badan penyediaan jasa. Dimana badan
penyediaan jasa tersebut melakukan proses adminitrasi dan manajemen berdasarkan
ketentuan yang telah disepakati oleh berbagai pihak.
Terdapat 70% perusahaan yang
menggunakan tenaga outsource. Kebanyakan dari perusahaan-perusahaan tersebut
bergerak dalam bidang industri, baik tekstil, jasa makanan maupun minuman, dll.
Berlakunya outsourching di Indonesia
didasarkan oleh beberapa hukum yang mengaturnya. Hukum yang mengatur
terbentuknya outsorching yaitu terdapat dalam:
·
Undang-Undang
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 (pasal 64, 65, dan 66). Yang dikatakan pada
pasal 64, pengertian outsorcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara
pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
·
Selain itu dalam pasal
1601 b KUH Perdata juga dijelaskan bahwa outsorching disamakan dengan
perjanjian pemborongan pekerjaan.
·
Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 100/ Men/ VI/ 2004
Tahun 2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu
(Kepmen 100/2004).
·
Outsorching juga diatur
dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.
Kep. 101/ Men/ VI/ 2004 Tahun 2004 tentang tata cara perizinan perusahaan
penyedia jasa pekerja/ buruh (Kepmen 101/2004).
·
Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 220/ Men/ X/ 2004 tentang
syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain
(Kepmen 220/2004).
Dengan dasar-dasar hukum yang telah
disebutkan seperti yang diatas, maka sistem outsorching dibolehkan dalam
kegiatan produksi sebuah perusahaan. Dengan catatan pula, semuanya telah diatur
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tidak boleh merugikan pekerja/ buruh.
Perlunya
Perjanjian Tertulis agar Jelas
Dalam beberapa bulan terakhir sering
terjadi demontrasi pekerja yang menuntut keadilan haknya, termasuk yang menjadi
poin tuntutan adlaah penghapusan sistem kerja kontrak dan alih daya
(Outsorching). Seperti yang terjadi di Cimahi (9/10), ribuan buruh PT Kahatex
menggelar aksi unjuk rasa di depan pintu masuk perusahaannya. Sekitar 2.500
buruh ikut dalam aksi tersebut, dari jumlah buruh keseluruhan sebanyak 11.000
buruh.
Untuk menggapai masalah-masalah
demonstrasi serikat pekerja yang semacam itu, maka tanggapan pemerintah melalui
juru bicara Kepresidenan, Julian Pasha mengaku akan senantiasa mendengar
aspirasi para buruh yang melakukan aksi demonstrasi. Terkait masalah tersebut,
telah di instruksikan agar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Menekertrans), Muhaimin Iskandar bekerja optimal untuk memenuhi aspirasi buruh
mengenai Outsorching.
Karena pada dasarnya menurut
peraturan pemerintah, outsorching hanya diperkenankan untuk lima bidan
pekerjaan saja yaitu cleaning service, keamanan, transportasi, catering dan
pemborongan pertambangan. Kemudian untuk perusahaan outsorching yang
menyengsarakan pekerja, melanggar UU No. 13 /2003 dan tidak sesuai dengan
keputusan Mahkamah Konstitusi maka harus dicabut perizinannya. Namun kendati
demikian, agar tidak terjadi penyimpangan keadilan dan tidak mencari yang salah
dalam polemik demonstrasi outsorching yang kerap terjadi akhir-akhir ini, maka
perlu disarankan untuk menggelar pertemuan tripartit antara pemerintah,
pengusaha dan buruh untuk mencari solusi permasalahan tersebut.
Selain itu, perlu susunan perjanjian
kerja tertulis dalam hubungan ketenagakerjaan. Dimana perjanjia kerja itu
sendiri berarti perjanjian pengikat diri antara pekerja dengan pengusaha. Bahwa
pekerja menyatakan kesiapan untuk melakukan pekerjaan dan pengusaha menyatakan
kesediaan untuk membayar upah dan hak-hak pekerja lainnya. Dengan begitu muncul
asas tentang “Hak dan Kewajiban” yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
Di dalam UU No. 13 Tahun 2003 pun
dijelaskan tentang definisi perjanjian kerja, tujuannya diberlakukan perjanjian
kerja yang diatur dalam UU adalah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja
dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan
keluarga. Menurut Undang-Undang, perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun
lisan. Apabila tertulis, maka perjanjian kerja tersebut memuat antara lain:
- . Nama, jenis usaha dan alamat perusahaan,
- Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja,
- Jabatan atau jenis pekerjaan,
- Tempat pekerjaan,
- Besar upah dan cara pembayarannya,
- Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja,
- Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja,
- Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
- Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Sedangkan
ketentuan mengenai perjanjian kerja untuk pekerjaan dalam waktu yang tak
menentu, hak dan kewajiban pekerja, serta kewenangan dan hak pekerja, perlu
dimuat dengan jelas dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perjanjian kerja waktu tertentu
adalah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha untuk melaksanakan
pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), paling lama dua tahun, dan hanya dapat
diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja
pertama, dengan ketentuan seluruh waktu perjanjian tidak boleh melebihi waktu tiga tahun. Misalnya PKWT satu
tahun, dapat diperpanjang hanya satu kali maksimum satu tahun, PKWT 1,5 tahun dapat
diperpanjang selama 1,5 tahun. PKWT dua tahun dapat diperpanjang hanya satu
tahun menjadi seluruhnya 3 tahun.
Poin akhir untuk mencegah terjadinya
perselisihan dalam Outsorching (alih daya) yaitu perlunya juga penafsiran
mengenai konsep dan pengertian usaha pokok atau Core Business. Dimana dua
konsep tersebut berubah dan berkembang secara dinamis. Maka ada baiknya bahwa
setiap perusahaan seharusnya terlebih dahulu menggolongkan apa yang menjadi
pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan
melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat. Sehingga suatu hari
nanti tidak akan muncul permasalahan yang berpicu atas tuntutan dari para
pekerjaan outsorching tentang ketidakjelasan pembagian kerja pokok dan
penunjang.
Penutup
Berdasarkan pembahasan sebelumnya,
maka dapat disimpulkan beberapa hal penting untuk mencegah perselisihan-perselisihan
dalam outsorching (alih daya), diantaranya pembentukan perjanjian kerja yang
jelas antara pihak perusahaan dengan pihak pekerja outsorching.
Selanjutnya perlu juga
pengklasifikasian pembagian kerja, sehingga ketegasan dalam core business dan
non core business terbangun sesuai dengan ketetapan undang-undang terkait
pelaksanaan outsorching.
Daftar Pustaka
·
Buku
Prof. Dr. Simanjutak, Payman J. 2011. Manajemen
Hubungan Industrial. Jakarta: LPFEUI
·
Koran
Pikiran Rakyat, Edisi 10 Oktober 2012
·
Internet
Vivanews,
03 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar