Jumat, 07 Desember 2012

Posisi Outsorching di Mata Hukum


Pendahuluan
            Dewasa ini penggunaa outsorching (Alih Daya) semakin marak terjadi di Indonesia. Seakan-akan outsorching sebagai “kebutuhan” bagi para pelaku bisnis. Khususnya untuk perusahaan yang memproduksi barang/jasa. Kebutuhan tersebut semata-mata muncul karena adanya persaingan usaha yang semakin ketat. Dimana setiap perusahaan dituntut untuk menghasilkan output atau memaksimumkan produktivitas agar perusahaan mendapatkan profit atau keuntungan. Untuk meraih keuntungan tersebut, mau tidak mau pihak perusahaan harus selalu fokus dalam berkompetensi. Hal itu dilakukan agar perusahaan tidak sekedar menghasilkan output yang biasa-biasa saja. Namun harus memproduksi output berupa barang/jasa yang berkualitas, bermutu, dan dapat bersaing dengan produk perusahaan lainnya.
            Dengan kondisi seperti itulah, pada akhirnya jalan outsorching menjadi solusi sementara bahkan menjadi sebuah trend ekonomi produksi dalam sebuah perusahaan. Tetapi permasalahannya adalah bagaimana posisi atau tempat outsorching itu sendiri berdiri di mata hukum. Sehingga sekarang ini banyak perselisihan mengenai sistem alih daya yang dituntut oleh para serikat pekerja untuk dihapuskan.



Penggunaan Outsorching dan Posisinya dalam Hukum
            Menurut  Mourice F Greaver ii, pada bukunya Strategic Outsorching, A Structured Approach to Outsorching : Decisions and Initiatives, yang menjabarkan Outsorching sebagai berikut:
“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces”.
Dalam pengertian lain, outsorching (Alih Daya) adalah suatu tindakan pendelegasian beberapa kegiatan bisnis kepada suatu badan penyediaan jasa. Dimana badan penyediaan jasa tersebut melakukan proses adminitrasi dan manajemen berdasarkan ketentuan yang telah disepakati oleh berbagai pihak.
            Terdapat 70% perusahaan yang menggunakan tenaga outsource. Kebanyakan dari perusahaan-perusahaan tersebut bergerak dalam bidang industri, baik tekstil, jasa makanan maupun minuman, dll.
            Berlakunya outsourching di Indonesia didasarkan oleh beberapa hukum yang mengaturnya. Hukum yang mengatur terbentuknya outsorching yaitu terdapat dalam:
·         Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 (pasal 64, 65, dan 66). Yang dikatakan pada pasal 64, pengertian outsorcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
·         Selain itu dalam pasal 1601 b KUH Perdata juga dijelaskan bahwa outsorching disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan.
·         Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 100/ Men/ VI/ 2004 Tahun 2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (Kepmen 100/2004).
·         Outsorching juga diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 101/ Men/ VI/ 2004 Tahun 2004 tentang tata cara perizinan perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh (Kepmen 101/2004).
·         Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 220/ Men/ X/ 2004 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (Kepmen 220/2004).

            Dengan dasar-dasar hukum yang telah disebutkan seperti yang diatas, maka sistem outsorching dibolehkan dalam kegiatan produksi sebuah perusahaan. Dengan catatan pula, semuanya telah diatur sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tidak boleh merugikan pekerja/ buruh.




Perlunya Perjanjian Tertulis agar Jelas

            Dalam beberapa bulan terakhir sering terjadi demontrasi pekerja yang menuntut keadilan haknya, termasuk yang menjadi poin tuntutan adlaah penghapusan sistem kerja kontrak dan alih daya (Outsorching). Seperti yang terjadi di Cimahi (9/10), ribuan buruh PT Kahatex menggelar aksi unjuk rasa di depan pintu masuk perusahaannya. Sekitar 2.500 buruh ikut dalam aksi tersebut, dari jumlah buruh keseluruhan sebanyak 11.000 buruh.
            Untuk menggapai masalah-masalah demonstrasi serikat pekerja yang semacam itu, maka tanggapan pemerintah melalui juru bicara Kepresidenan, Julian Pasha mengaku akan senantiasa mendengar aspirasi para buruh yang melakukan aksi demonstrasi. Terkait masalah tersebut, telah di instruksikan agar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menekertrans), Muhaimin Iskandar bekerja optimal untuk memenuhi aspirasi buruh mengenai Outsorching.
            Karena pada dasarnya menurut peraturan pemerintah, outsorching hanya diperkenankan untuk lima bidan pekerjaan saja yaitu cleaning service, keamanan, transportasi, catering dan pemborongan pertambangan. Kemudian untuk perusahaan outsorching yang menyengsarakan pekerja, melanggar UU No. 13 /2003 dan tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi maka harus dicabut perizinannya. Namun kendati demikian, agar tidak terjadi penyimpangan keadilan dan tidak mencari yang salah dalam polemik demonstrasi outsorching yang kerap terjadi akhir-akhir ini, maka perlu disarankan untuk menggelar pertemuan tripartit antara pemerintah, pengusaha dan buruh untuk mencari solusi permasalahan tersebut.
            Selain itu, perlu susunan perjanjian kerja tertulis dalam hubungan ketenagakerjaan. Dimana perjanjia kerja itu sendiri berarti perjanjian pengikat diri antara pekerja dengan pengusaha. Bahwa pekerja menyatakan kesiapan untuk melakukan pekerjaan dan pengusaha menyatakan kesediaan untuk membayar upah dan hak-hak pekerja lainnya. Dengan begitu muncul asas tentang “Hak dan Kewajiban” yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.
            Di dalam UU No. 13 Tahun 2003 pun dijelaskan tentang definisi perjanjian kerja, tujuannya diberlakukan perjanjian kerja yang diatur dalam UU adalah untuk memberikan perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga. Menurut Undang-Undang, perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Apabila tertulis, maka perjanjian kerja tersebut memuat antara lain:

  1.    .     Nama, jenis usaha dan alamat perusahaan,
  2.         Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja,
  3.         Jabatan atau jenis pekerjaan,
  4.       Tempat pekerjaan,
  5.         Besar upah dan cara pembayarannya,
  6.         Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja,
  7.         Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja,
  8.          Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
  9.            Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Sedangkan ketentuan mengenai perjanjian kerja untuk pekerjaan dalam waktu yang tak menentu, hak dan kewajiban pekerja, serta kewenangan dan hak pekerja, perlu dimuat dengan jelas dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
            Perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), paling lama dua tahun, dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh waktu perjanjian tidak boleh  melebihi waktu tiga tahun. Misalnya PKWT satu tahun, dapat diperpanjang hanya satu kali maksimum satu tahun, PKWT 1,5 tahun dapat diperpanjang selama 1,5 tahun. PKWT dua tahun dapat diperpanjang hanya satu tahun menjadi seluruhnya 3 tahun.
            Poin akhir untuk mencegah terjadinya perselisihan dalam Outsorching (alih daya) yaitu perlunya juga penafsiran mengenai konsep dan pengertian usaha pokok atau Core Business. Dimana dua konsep tersebut berubah dan berkembang secara dinamis. Maka ada baiknya bahwa setiap perusahaan seharusnya terlebih dahulu menggolongkan apa yang menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat. Sehingga suatu hari nanti tidak akan muncul permasalahan yang berpicu atas tuntutan dari para pekerjaan outsorching tentang ketidakjelasan pembagian kerja pokok dan penunjang.



Penutup

            Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam outsorching (alih daya), diantaranya pembentukan perjanjian kerja yang jelas antara pihak perusahaan dengan pihak pekerja outsorching.
            Selanjutnya perlu juga pengklasifikasian pembagian kerja, sehingga ketegasan dalam core business dan non core business terbangun sesuai dengan ketetapan undang-undang terkait pelaksanaan outsorching.



Daftar Pustaka
·         Buku
Prof. Dr. Simanjutak, Payman J. 2011. Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: LPFEUI

·         Koran
Pikiran Rakyat, Edisi 10 Oktober 2012

·         Internet
Vivanews, 03 Oktober 2012

0 komentar:

Posting Komentar