Selasa, 13 November 2012

Esensi Kesejahteraan Buruh


PENDAHULUAN


Ketenagakerjaan, konsep ini pada dasarnya mulai dipergunakan pada awal pemerintahan Orde Baru tahun 1966, yaitu dengan pembentukan Departemen Tenaga Kerja. Sejak pemerintahan  Orde Baru (1966-Mei 1998), telah terjadi perubahan mendasar dalam hukum ketenagakerjaan yang dimulai dengan UU No. 14 Tahun 1969 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaa Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
            Dengan diterbitkannya UU No. 14 Tahun 1969 ini, timbullah istilah “ketenagakerjaan” untuk sebutan “perburuhan” dan “tenaga kerja” untuk sebutan “buruh”, atau “pekerja” dalam arti yang khusus bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Dengan demikian apa yang sebelumnya disebut dengan “hukum perburuhan” disebut juga dengan “hukum ketenagakerjaan”.
            Kemudian seiring waktu, sejak bulan mei 1998. Indonesia lebih memfokuskan lagi tentang hukum ketenagakerjaan, sehingga muncullah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Undang-Undang ini menjadi tonggak yang mencakup aspek mengenai :
a. Hubungan kerja;
b. Perlindungan tenaga anak, perempuan dan penyandang cacat;
c. Ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat;
d. Ketentuan pengupahan dan perlindungan upah;
e. perlindungan keselamatan, kesehatan dan tunjangan pekerja;
f. ketentuan kerja lembur dan upah kerja lembur; serta mencakup semua permasalahan yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan perusahaan dengan pihak pekerja.


B. JALAN MENUNTUT KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN

       Ketentuaan mengenai hubungan kerja antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja, atau yang biasa disebut sebagai buruh (pekerja kasar) pada umumnya sudah dipandu dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Namun pada kenyataannya sejak awal revolusi sampai dengan sekarang ara reformasi dan demokrasi industri kondisi kerja memang relati buruk. Waktu kerja sangat panjang melebihi 10 jam per hari. Padahal menurut UU No. 13/ 2003, pasal 77 ayat (1) menyatakan bahwa jam kerja sebagai berikut :
·         7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk kerja 6 hari kerja dala 1 minggu, atau
·         8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Bila dalam 1 minggu bekerja melebihi batasan jam kerja yaitu 40 jam, maka waktu kerja tersebut dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur. Sehingga pekerja atau buruh berhak atas upah lembur.
Selain buruknya waktu jam kerja yang melebihi waktu jam kerja, masalah lainnya yaitu buruknya upah para pekerja, jaminan sosial yang hampir tidak ada, sarana perlindungan kesehatan dan keselamatan sangat sederhana, serta perlindungan politik sangat terbatas, orientasi pengusaha hanya terfokus pada akumulasi sebanyak mungkin mendapatkan keuntungan perusahaan, sehingga kesadaran pengusaha untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sangat rendah, campur tangan pemerintah dalam pengaturan syarat kerja sangat terbatas. Dengan demikian mudah dipahami bahwa pekerja atau buruh cenderung untuk menggunakan cara pemogokan, demonstrasi atau unjuk rasa untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan pekerja atau buruh.
a. Studi Kasus
            Tuntutan-tuntutan dari pihak pekerja atau buruh yang melakukan aksi demonstrasi pun beranekaragam. Studi kasus seperti yang terjadi pada ribuan buruh PT Kahatex yang menggelar aksi mogok kerja di depan perusahaan mereka, di Jln.Gempol, kelurahan Melong, kota Cimahi, Selasa (9/10). Mereka menuntut peningkatan uang makan dan transportasi, serta peningkatan kesejahteraan karyawan.kemudian sekitar seratus buruh yang tergabung dalam Koalisi Buruh Sukabumi (KBS) melakukan mogok makan, Selasa (9/10) DI TERAS Gedung Negara Pendopo Sukabumi, agar Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang mereka tuntut dapat direalisasikan.
            Belum lama juga pada Rabu, 03 Oktober 2012, puluhan ribu pekerja atau buruh melakukan demonstrasi massal diseluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar. Ketua umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan, tuntutan buruh antara lain segera dihapuskannya Outsourcing (sistem alih daya), tolak upah murah, jalankan jaminan sosial kesehatan masyarakat pada 2014, dll.

            Angka pemogokan, demonstrasi atau unjuk rasa buruh di Indonesia termasuk tinggi, dan cenderung untuk terus meningkat terutama sejak awal tahun 1990-an. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini, yang bersumber dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dari tahun 1980-2008.
Tabel 1.1
Jumlah kasus pemogokan dan jam kerja hilang
Indonesia: 1980-2008
Tahun
Jumlah kasus
Pekerja
Jam kerja
terlibat
hilang
1980
100
32.287
328.466
1981
200
54.875
495.144
1982
142
49.525
501.236
1983
96
23.318
295.749
1984
63
10.836
62.906
1985
78
21.148
55.001
1986
75
16.831
117.643
1987
35
8.281
35.664
1988
39
7.544
607.265
1989
19
1.168
29.257
1990
61
31.234
262.014
1991
130
64.474
582.477
1992
251
123.005
1.019.654
1993
195
103.490
966.931
1994
296
147.662
1.421.032
1995
276
126.855
1.300.001
1996
360
221.557
2.497.973
1997
234
144.929
1.250.673
1998
278
152.495
1.550.945
1999
125
48.232
915.105
2000
273
126.045
1.281.242
2001
174
109.845
1.165.032
2002
202
97.325
769.142
2003
161
68.114
643.253
2004
125
53.321
554.726
2005
96
56.082
766.465
2006
282
595.783
4.665.685
2007
147
135.297
1.161.459
2008
146
211.504
1.546.400


            Kalau sejenak kita kulik lebih rinci lagi, pada dasarnya para serikat pekerja tersebut melakukan aksi pemogokan hanya untuk menuntut kesejahteraannya sebagai pelaku kerja. Apa esensi kesejahteraan dari pekerja atau buruh tersebut? Yaitu dipenuhinya akan hak-hak mereka, dengan catatan para pekerja tersebut telah melakukan kewajibannya sebagai pekerja yang bekerja dengan baik di sebuah perusahaan. Sedangkan dari pihak pengusaha pun seharusnya dapat memenuhi hak-hak pekerja tersebut, tidak selalu fokus terhadap pencapaian keuntungan perusahaan saja, sedangkan kesadarannya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerjanya sangatlah rendah. Hal yang semacam itu dinilai egois dan tidak adil. Menyalahi aturan pemenuhan esensi kesejahteraan pekerja atau buruh, yang harusnya sesuai dengan aturan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sangat disayangkan, ketika kasus pemogokan dan demonstrasi pekerja masih marak terjadi dilingkungan kerja. Itu artinya memanglah Indonesia masih belum dikatakan sejahtera dan merdeka dalam perekonomiannya.
            Pemogokan atau demonstrasi yang dilakukan para pekerja atau buruh secara berkepanjangan, pada dasarnya akan merugikan banyak pihak. Merugikan dari segi proses produksinya yang akan berhenti, merugikan pihak pekerja pula, karena selama pemogokan tersebut pekerja tidak menerima upah dari pengusaha. Serta merugikan kepentingan umum dan negara. Lambat laun dapat terjadi stagnasi produksi, penutupan perusahaan dan terjadi pengangguran massal.
            Untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industri antara pengusaha dengan serikat pekerja yaitu berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri. Dilakukanlah tahap-tahapan sebagai berikut :
1. Perundingan
     Yang dapat dilakukan di lembaga kerjasama Bipaitit (forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara wakil pengusaha dan wakil pekerja)
2. Mediasi oleh Mediator
3. Konsiliasi oleh Konsiliator
    Konsiliator adalah anggota masyarakat yang telah berpengalaman dibidang hubungan industrial dan menguasai peraturan perundang-undangan dan ketenagakerjaan
4. Abitrase oleh Arbiter
    Arbiter adalah juru atau dewan pemisah untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Arbiter harus terdaftar di kantor pemerintahan yang membidangi ketenagakerjaan.
5. Pengadilan Hukum Industrial (PHI)
     PHI dibentuk di Pengadilan Negeri dan pada Mahkamah Agung
6. Majelis Hakim Kasasi
PENUTUP
            Dalam bagian ini kami menyampaikan materi mengenai solusi dan bagaimana cara membangun hubungan ketenagakerjaan yang baik, yang dapat meminimalkan polemik kasus demonstrasi buruh di Indonesia.
            Prinsip hubungan industrial, hal itu yang perlu kita bina dalam lingkungan kerja. Dimana prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut:
1. Kepentingan bersama : pengusaha, pekerja, masyarakat, pemetintah
2. Kemitraan dan saling ketergantungan : pekerja dan pengusaha sebagai mitra yang saling tergantung dan saling membutuhkan
3. Hubungan fungsional dan pembagian tugas
4. Kekeluargaan
5. Penciptaan ketenangan berusaha dan ketentraman bekerja
6. Penciptaan produktivitas
7. Peningkatan kesejahteraan bersama
            Selain prinsip-prinsip diatas, dalam hubungan industrial diperlukan juga sarana atau lembaga-lembaga yang mengatur ketentuan dalam hubungan kerja, diantaranya :
1. Peraturan perusahaan,         6. Lembaga tripartit,
2. Lembaga bipartit,                7.Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,
3. Serikat pekerja,                   8. Peraturan-peraturan ketenagakerjaan,
4. Perjanjian kerja bersama,     9. Pendidikan hubungan industrial.
5. Asosiasi pengusaha,
            Dengan memegang aturan-aturan hukum ketenagakerjaan yang berlaku, ditambah paham dengan prinsip-prinsip dalam hubungan industrial baik dari pihak pengusaha, pekerja serta pemerintah selaku penengahnya. Diharapkan terciptalah sebuh lingkungan kerja industrial yang harmonis, tanpa mucul perselisihan-perselisihan dalam menuntu makna sebuah kesejahteraan.


Daftar Pustaka
* Buku
·         Prof.Dr.Simanjuntak. PaymanJ.Manajemen Hubungan Industri.Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,Jakarta:2011.

*Koran
·         Pikiran Rakyat edisi 10 Oktober 2012, hall – 6
·         Pikiran Rakyat edisi 10 Oktober 2012, hall – 17

*Internet
·         www.hukumtenagakerja.com / pengupahan – dalam – indang-undang-.
·         Viva news , Rabu 03 Oktober 2012 / Fernando Randy
·         Indonesia. Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang tenaga kerja



0 komentar:

Posting Komentar